Sejumlah calon legislatif yang tidak menempati nomor urut satu di daerah pemilihan untuk Pemilu 2009 menyatakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang suara terbanyak cukup adil dan dapat mengurangi konflik internal di partai.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai calon legislatif (caleg) pada Pemilu 2009 ditentukan melalui sistem suara terbanyak, bukan berdasarkan nomor urut seperti berlaku selama ini, akan membuka peluang calon legislatif (caleg) “nomor sepatu” (nomor di bawah) bisa duduk di legislatif.
Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi, Selasa (23/12), mengabulkan sebagian permohonan pemohon terkait uji materi UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu, sehingga penetapan caleg untuk pemilu 2009 akan ditentukan dengan sistem suara terbanyak. “Menimbang bahwa dalil pemohon beralasan sepanjang mengenai pasal 214 huruf a, b, c, d, e UU No. 10 Tahun 2008 maka permohonan pemohon dikabulkan,” ujar Ketua Majelis Hakim Mahfud MD ketika membacakan putusan di Gedung MK.
Menurut Mahfud, pelaksanaan putusan MK tidak akan menimbulkan hambatan yang pelik karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menyatakan siap melaksanakan putusan MK jika memang harus menetapkan anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak. Sementara Anggota KPU Andi Nurpati menyatakan siap menerima dan melaksanakan putusan MK. Andi menegaskan, tidak perlu dilakukan revisi atau pun pengeluaran perpu. Dalam hal ini akan dibuat peraturan KPU. "Ini tidak akan mengganggu tahapan pemilu," ungkapnya.
Ditempat terpisah, Ketua DPR Agung Laksono meminta semua pihak mematuhi putusan MK itu. "Kalau itu memang keputusan MK, harus dipenuhi dan dilaksanakan," kata Agung, yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar. Agung mengatakan, Golkar sudah menggunakan metode penetapan caleg dengan suara terbanyak. Diharapkan partai yang tidak setuju dengan metode tersebut menghargai putusan MK itu.
Menanggapi putusan MK tersebut, Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir menyebutnya sebagai kemenangan rakyat. Menurut dia, PAN selama ini memang memperjuangkan suara terbanyak. Kini atas hasil ini, partainya juga menggelar syukuran. "Dengan suara terbanyak itulah peranan partai harus berbagi dengan caleg yang dipilih rakyat langsung. Ini demokrasi yang benar-benar adil," ujarnya.
Respons juga datang dari PKS. "Kita siap dan tidak masalah," kata Presiden PKS Tifatul Sembiring. Menurut Tifatul, sebenarnya yang mengusulkan suara terbanyak itu PKS dan PAN, tetapi kemudian justru ditolak partai-partai besar. "Yang bos-bosnya sering ongkang-ongkang kaki yang masalah. Kalau kita siap turun ke bawah," ujarnya.
Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali menyatakan, pihaknya siap melaksanakan putusan MK yang mengabulkan permohonan uji materi UU Pemilu sehingga penetapan calon terpilih nantinya berdasarkan suara terbanyak. “Tentu kita akan taati dan laksanakan putusan MK itu, meskipun sebenarnya waktunya tidak tepat karena tahapan penyusunan calon anggota legislatif (caleg) sudah selesai,” ujar dia lagi.
Iklim Politik Nasional
Mantan Ketua MPR Amien Rais menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan caleg terpilih didasarkan pada perolehan suara terbanyak akan berdampak pada penyehatan iklim politik nasional karena telah mencerminkan azas keadilan dan demokrasi. Kepada pers disela-sela peluncuran Buku Putih Pilkada Malut di Jakarta, Rabu, Amien mengatakan bahwa putusan MK tersebut merupakan langkah yang sangat bagus bagi pembenahan sistem politik nasional saat ini.
“Putusan itu sudah benar karena dasar suara terbanyak itu sesuai dengan semangat berdemokrasi dan juga mencerminkan keadilan,” katanya. Dikemukakannya bahwa sejak awal dirinya menilai ketentuan penentuan caleg terpilih berdasarkan nomor urut, sebagaimana yang tercantum dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu itu, pada dasarnya merupakan penipuan terhadap rakyat. “Bagaimana mungkin caleg yang seharusnya terpilih berdasarkan suara terbanyak bisa dikalahkan hanya karena tidak berada di nomor urut satu,” ujar tokoh reformasi itu.
Karenanya, menurut Amien Rais, Ketua MK Mahfud MD layak mendapat penghargaan khusus atas putusannya mengadopsi aspirasi masyarakat yang menghendaki iklim berdemokrasi yang sehat. Sebelumnya MK mengabulkan gugatan uji materiil atas Pasal 124 huruf a, b, c, d dan e UU No 10/2008 tentang Pemilu. Dengan demikian, penetapan caleg terpilih pada Pemilu 2009 tidak lagi memakai sistem nomor urut dan digantikan dengan sistem perolehan suara terbanyak.
Amien mengatakan bahwa putusan MK itu sekaligus pula menjadi pelajaran berharga bagi DPR agar tidak terus menerus membuat peraturan perundang-undangan yang konyol dan menafikkan kehendak demokrasi dan masyarakat. Mengenai teknis pengaturan caleg terpilih selanjutnya yang didasarkan pada putusan MK itu, Amien Rais berpendapat bahwa hal itu cukup diatur melalui keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) saja.
“Jadi ketentuan UU yang menetapkan caleg terpilih berdasarkan nomor urut bisa diabaikan tanpa harus membongkar UU tentang Pemilu itu. Cukup KPU saja mengeluarkan SK tentang hal ini dan selesai,” ujarnya.
Putusan MK Suara Terbanyak Amburadul
Sementara itu, mantan Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti punya pandangan lain. sebagaimana dikutip dari INILAH.COM, Keputusan MK yang menyatakan penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak dinilai sebagai keputusan yang amburadul. Sebab, merusak sistem atau tahapan pemilu yang sudah dibentuk sebelumnya.
“Keputusan MK tentang suara terbanyak mengacaukan sistem pemilu yang diterapkan. Sehingga sistem pemilunya menjadi aburadul,” kata mantan Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti saat dihubungi INILAH.COM, di Jakarta, Rabu (24/12).
Kekacauan itu, menurut dia, karena dalam sistem pemilu mengandung empat tahapan. Yakni, besaran daerah pemilihan, pola pencalonan tertutup atau terbuka, sistem zigzag caleg perempuan, model pemberian suara kepada parpol atau caleg dan berdasarkan suara terbanyak.
Empat tahapan itu, kata Ramlan, merupakan satu kesatuan dalam tahapan pemilu. “Putusan MK hanya mengambil ekornya saja. Sehingga membuat pemilu tidak lagi sistemik. Antara kepala dan kaki tidak cocok,” papar guru besar FISIP Universitas Airlangga itu.
Meski pasal 214 UU No 10/2008 tentang Pemilu itu multitafsir atau campur aduk, lanjut Ramlan, bukan berarti MK harus menganulir semua ayat dalam pasal tersebut. Sebab yang perlu diluruskan dalam pasal 214 adalah ayat b. Bukan semua ayat seperti dalam putusan MK yakni ayat a, c, d, dan e. “Jadi bukan berarti yang tertutup itu (berdasarkan nomor urut) tidak demokratis. Karena di negara-negara demokratis juga menerapkan nomor urut,” pungkasnya.
Peringatan bagi DPR
Keputusan MK tentang caleg berdasarkan suara terbanyak dinilai sebagai peringatan untuk DPR. "Ini semacam godam buat DPR yang bikin UU seperti ini. Ini peringatan kesekian kali dan ini yang terbesar. Kalau bikin UU jangan ada manipulasi," kata Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro) Hadar Gumay.
Kejanggalan memang sudah dilihat sejak awal. DPR mengaku memakai sistem proporsional terbuka, tetapi mereka justru membuat pasal 214 tentang caleg terpilih berdasarkan nomor urut bila tidak memenuhui quota suara, juga pasal 218 tentang pengunduran diri.
"Ini kan aturan UU yang manipulatif, sangat kental kepentingan jangka pendek. Dan putusan ini peringatan buat mereka bila MK bisa mengoreksi," ujarnya. Dia menengarai, keputusan sebelumnya yang berdasarkan nomor urut, sarat manipulasi permainan partai politik dan dengan nomor urut itu dikhawatirkan ada yang mengakali dengan permainan uang.
"Ini kesalahan partai, yang dari awal mau mengakali. Mereka akan menerima resiko, akan goyah. Dan kemungkinan ada caleg yang mundur dan akan ada tuntutan kepada partai tersebut bila uang yang menjadi patokan ketika menentukan nomor urut. Ini resiko partai yang mau bermain-main," kata Hadar.
Dan hal yang sangat positif bagi penyelenggara yakni potensi keributan yang dikhawatirkan terjadi, potensinya menjadi sangat kecil. "Dengan adanya pembatalan, jadi hanya ada satu jalur. Dan ini clear, buat penyelenggara bisa lebih sederhana. Kalau dengan nomor urut bisa terjadi keributan dalam penetapan calon terpilih," ujarnya.
sumber: beritasore.com, inilah.com, pikiran-rakyat.com
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai calon legislatif (caleg) pada Pemilu 2009 ditentukan melalui sistem suara terbanyak, bukan berdasarkan nomor urut seperti berlaku selama ini, akan membuka peluang calon legislatif (caleg) “nomor sepatu” (nomor di bawah) bisa duduk di legislatif.
Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi, Selasa (23/12), mengabulkan sebagian permohonan pemohon terkait uji materi UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu, sehingga penetapan caleg untuk pemilu 2009 akan ditentukan dengan sistem suara terbanyak. “Menimbang bahwa dalil pemohon beralasan sepanjang mengenai pasal 214 huruf a, b, c, d, e UU No. 10 Tahun 2008 maka permohonan pemohon dikabulkan,” ujar Ketua Majelis Hakim Mahfud MD ketika membacakan putusan di Gedung MK.
Menurut Mahfud, pelaksanaan putusan MK tidak akan menimbulkan hambatan yang pelik karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menyatakan siap melaksanakan putusan MK jika memang harus menetapkan anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak. Sementara Anggota KPU Andi Nurpati menyatakan siap menerima dan melaksanakan putusan MK. Andi menegaskan, tidak perlu dilakukan revisi atau pun pengeluaran perpu. Dalam hal ini akan dibuat peraturan KPU. "Ini tidak akan mengganggu tahapan pemilu," ungkapnya.
Ditempat terpisah, Ketua DPR Agung Laksono meminta semua pihak mematuhi putusan MK itu. "Kalau itu memang keputusan MK, harus dipenuhi dan dilaksanakan," kata Agung, yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar. Agung mengatakan, Golkar sudah menggunakan metode penetapan caleg dengan suara terbanyak. Diharapkan partai yang tidak setuju dengan metode tersebut menghargai putusan MK itu.
Menanggapi putusan MK tersebut, Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir menyebutnya sebagai kemenangan rakyat. Menurut dia, PAN selama ini memang memperjuangkan suara terbanyak. Kini atas hasil ini, partainya juga menggelar syukuran. "Dengan suara terbanyak itulah peranan partai harus berbagi dengan caleg yang dipilih rakyat langsung. Ini demokrasi yang benar-benar adil," ujarnya.
Respons juga datang dari PKS. "Kita siap dan tidak masalah," kata Presiden PKS Tifatul Sembiring. Menurut Tifatul, sebenarnya yang mengusulkan suara terbanyak itu PKS dan PAN, tetapi kemudian justru ditolak partai-partai besar. "Yang bos-bosnya sering ongkang-ongkang kaki yang masalah. Kalau kita siap turun ke bawah," ujarnya.
Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali menyatakan, pihaknya siap melaksanakan putusan MK yang mengabulkan permohonan uji materi UU Pemilu sehingga penetapan calon terpilih nantinya berdasarkan suara terbanyak. “Tentu kita akan taati dan laksanakan putusan MK itu, meskipun sebenarnya waktunya tidak tepat karena tahapan penyusunan calon anggota legislatif (caleg) sudah selesai,” ujar dia lagi.
Iklim Politik Nasional
Mantan Ketua MPR Amien Rais menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan caleg terpilih didasarkan pada perolehan suara terbanyak akan berdampak pada penyehatan iklim politik nasional karena telah mencerminkan azas keadilan dan demokrasi. Kepada pers disela-sela peluncuran Buku Putih Pilkada Malut di Jakarta, Rabu, Amien mengatakan bahwa putusan MK tersebut merupakan langkah yang sangat bagus bagi pembenahan sistem politik nasional saat ini.
“Putusan itu sudah benar karena dasar suara terbanyak itu sesuai dengan semangat berdemokrasi dan juga mencerminkan keadilan,” katanya. Dikemukakannya bahwa sejak awal dirinya menilai ketentuan penentuan caleg terpilih berdasarkan nomor urut, sebagaimana yang tercantum dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu itu, pada dasarnya merupakan penipuan terhadap rakyat. “Bagaimana mungkin caleg yang seharusnya terpilih berdasarkan suara terbanyak bisa dikalahkan hanya karena tidak berada di nomor urut satu,” ujar tokoh reformasi itu.
Karenanya, menurut Amien Rais, Ketua MK Mahfud MD layak mendapat penghargaan khusus atas putusannya mengadopsi aspirasi masyarakat yang menghendaki iklim berdemokrasi yang sehat. Sebelumnya MK mengabulkan gugatan uji materiil atas Pasal 124 huruf a, b, c, d dan e UU No 10/2008 tentang Pemilu. Dengan demikian, penetapan caleg terpilih pada Pemilu 2009 tidak lagi memakai sistem nomor urut dan digantikan dengan sistem perolehan suara terbanyak.
Amien mengatakan bahwa putusan MK itu sekaligus pula menjadi pelajaran berharga bagi DPR agar tidak terus menerus membuat peraturan perundang-undangan yang konyol dan menafikkan kehendak demokrasi dan masyarakat. Mengenai teknis pengaturan caleg terpilih selanjutnya yang didasarkan pada putusan MK itu, Amien Rais berpendapat bahwa hal itu cukup diatur melalui keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) saja.
“Jadi ketentuan UU yang menetapkan caleg terpilih berdasarkan nomor urut bisa diabaikan tanpa harus membongkar UU tentang Pemilu itu. Cukup KPU saja mengeluarkan SK tentang hal ini dan selesai,” ujarnya.
Putusan MK Suara Terbanyak Amburadul
Sementara itu, mantan Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti punya pandangan lain. sebagaimana dikutip dari INILAH.COM, Keputusan MK yang menyatakan penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak dinilai sebagai keputusan yang amburadul. Sebab, merusak sistem atau tahapan pemilu yang sudah dibentuk sebelumnya.
“Keputusan MK tentang suara terbanyak mengacaukan sistem pemilu yang diterapkan. Sehingga sistem pemilunya menjadi aburadul,” kata mantan Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti saat dihubungi INILAH.COM, di Jakarta, Rabu (24/12).
Kekacauan itu, menurut dia, karena dalam sistem pemilu mengandung empat tahapan. Yakni, besaran daerah pemilihan, pola pencalonan tertutup atau terbuka, sistem zigzag caleg perempuan, model pemberian suara kepada parpol atau caleg dan berdasarkan suara terbanyak.
Empat tahapan itu, kata Ramlan, merupakan satu kesatuan dalam tahapan pemilu. “Putusan MK hanya mengambil ekornya saja. Sehingga membuat pemilu tidak lagi sistemik. Antara kepala dan kaki tidak cocok,” papar guru besar FISIP Universitas Airlangga itu.
Meski pasal 214 UU No 10/2008 tentang Pemilu itu multitafsir atau campur aduk, lanjut Ramlan, bukan berarti MK harus menganulir semua ayat dalam pasal tersebut. Sebab yang perlu diluruskan dalam pasal 214 adalah ayat b. Bukan semua ayat seperti dalam putusan MK yakni ayat a, c, d, dan e. “Jadi bukan berarti yang tertutup itu (berdasarkan nomor urut) tidak demokratis. Karena di negara-negara demokratis juga menerapkan nomor urut,” pungkasnya.
Peringatan bagi DPR
Keputusan MK tentang caleg berdasarkan suara terbanyak dinilai sebagai peringatan untuk DPR. "Ini semacam godam buat DPR yang bikin UU seperti ini. Ini peringatan kesekian kali dan ini yang terbesar. Kalau bikin UU jangan ada manipulasi," kata Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro) Hadar Gumay.
Kejanggalan memang sudah dilihat sejak awal. DPR mengaku memakai sistem proporsional terbuka, tetapi mereka justru membuat pasal 214 tentang caleg terpilih berdasarkan nomor urut bila tidak memenuhui quota suara, juga pasal 218 tentang pengunduran diri.
"Ini kan aturan UU yang manipulatif, sangat kental kepentingan jangka pendek. Dan putusan ini peringatan buat mereka bila MK bisa mengoreksi," ujarnya. Dia menengarai, keputusan sebelumnya yang berdasarkan nomor urut, sarat manipulasi permainan partai politik dan dengan nomor urut itu dikhawatirkan ada yang mengakali dengan permainan uang.
"Ini kesalahan partai, yang dari awal mau mengakali. Mereka akan menerima resiko, akan goyah. Dan kemungkinan ada caleg yang mundur dan akan ada tuntutan kepada partai tersebut bila uang yang menjadi patokan ketika menentukan nomor urut. Ini resiko partai yang mau bermain-main," kata Hadar.
Dan hal yang sangat positif bagi penyelenggara yakni potensi keributan yang dikhawatirkan terjadi, potensinya menjadi sangat kecil. "Dengan adanya pembatalan, jadi hanya ada satu jalur. Dan ini clear, buat penyelenggara bisa lebih sederhana. Kalau dengan nomor urut bisa terjadi keributan dalam penetapan calon terpilih," ujarnya.
sumber: beritasore.com, inilah.com, pikiran-rakyat.com