07 Desember 2008

Beberapa Pasal Bertentangan dengan UU 22/2007

Pembahasan UU Pemilu yang disahkan DPR pada awal Maret lalu ternyata meninggalkan masalah. KPU menyatakan, terdapat pertentangan bunyi dari pasal di UU Pemilu, dengan UU Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu.

Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary menyebut ketidaksinkronan tersebut terutama terletak pada keputusan DPR dan pemerintah, terkait pembentukan PPK dan PPS dalam tugasnya melakukan pemutakhiran data pemilih. ”Ini nantinya juga berhubungan erat dengan anggaran yang nantinya harus diterima KPU,” kata Hafiz di Kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Selasa (11/3).

Menurut Hafiz, dalam UU Nomor 22 Tahun 2007, pembentukan PPK dan PPS dibentuk selambat-lambatnya enam bulan sebelum pemilu berjalan. Setelah terbentuk, PPS nantinya menunjuk seorang Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) yang bekerja selama satu bulan untuk melakukan survei data pemilih di tingkat lapangan.

Namun, ketentuan tersebut ternyata bertentangan dengan UU Pemilu yang baru saja disahkan saat ini. Di UU tersebut, disebutkan pemutakhiran data pemilih baru harus dilakukan KPU paling lambat 12 bulan sebelum proses pemilu. Dalam hal ini, jika Pemilu legislatif dijadwalkan pada 5 April 2009, KPU saat ini setidaknya sudah membentuk anggota PPK dan PPS di seluruh kecamatan dan desa. ”Pertentangan di sini, kami harus menyesuaikan di UU yang mana,” kata Hafiz.

Hafiz menjelaskan, semua tahapan proses pemilu 2009 yang telah dibentuk oleh KPU, semuanya telah berpedoman pada UU Nomor 22 Tahun 2007. Dalam hal perencanaan anggaran, KPU juga berpedoman kepada UU yang telah disahkan sejak pertengahan 2007 tersebut. ”Dalam hal anggaran, tentu Depkeu tetap berpedoman pada anggaran yang sudah kami ajukan,” katanya.

Hafiz menambahkan, pertentangan dua UU tersebut tengah dibahas dalam rapat pleno internal KPU. Dalam pleno tersebut, ada anggota KPU yang mengusulkan agar KPU membentuk PPS terlebih dulu, untuk kemudian menunjuk PPDP agar segera melakukan pemutakhiran data.

Penunjukan tersebut diajukan, agar KPU tidak dianggap melanggar ketentuan UU Pemilu. Atas usulan tersebut, Hafiz menyatakan agar DPR bersedia melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan KPU terlebih dulu. (jpnn)

sumber: jppn