29 Desember 2008

Putusan MK ‘ Suara Terbanyak ‘ Kurangi Konflik Internal Partai

Sejumlah calon legislatif yang tidak menempati nomor urut satu di daerah pemilihan untuk Pemilu 2009 menyatakan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang suara terbanyak cukup adil dan dapat mengurangi konflik internal di partai.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai calon legislatif (caleg) pada Pemilu 2009 ditentukan melalui sistem suara terbanyak, bukan berdasarkan nomor urut seperti berlaku selama ini, akan membuka peluang calon legislatif (caleg) “nomor sepatu” (nomor di bawah) bisa duduk di legislatif.

Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi, Selasa (23/12), mengabulkan sebagian permohonan pemohon terkait uji materi UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu, sehingga penetapan caleg untuk pemilu 2009 akan ditentukan dengan sistem suara terbanyak. “Menimbang bahwa dalil pemohon beralasan sepanjang mengenai pasal 214 huruf a, b, c, d, e UU No. 10 Tahun 2008 maka permohonan pemohon dikabulkan,” ujar Ketua Majelis Hakim Mahfud MD ketika membacakan putusan di Gedung MK.

Menurut Mahfud, pelaksanaan putusan MK tidak akan menimbulkan hambatan yang pelik karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah menyatakan siap melaksanakan putusan MK jika memang harus menetapkan anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak. Sementara Anggota KPU Andi Nurpati menyatakan siap menerima dan melaksanakan putusan MK. Andi menegaskan, tidak perlu dilakukan revisi atau pun pengeluaran perpu. Dalam hal ini akan dibuat peraturan KPU. "Ini tidak akan mengganggu tahapan pemilu," ungkapnya.

Ditempat terpisah, Ketua DPR Agung Laksono meminta semua pihak mematuhi putusan MK itu. "Kalau itu memang keputusan MK, harus dipenuhi dan dilaksanakan," kata Agung, yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar. Agung mengatakan, Golkar sudah menggunakan metode penetapan caleg dengan suara terbanyak. Diharapkan partai yang tidak setuju dengan metode tersebut menghargai putusan MK itu.

Menanggapi putusan MK tersebut, Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir menyebutnya sebagai kemenangan rakyat. Menurut dia, PAN selama ini memang memperjuangkan suara terbanyak. Kini atas hasil ini, partainya juga menggelar syukuran. "Dengan suara terbanyak itulah peranan partai harus berbagi dengan caleg yang dipilih rakyat langsung. Ini demokrasi yang benar-benar adil," ujarnya.

Respons juga datang dari PKS. "Kita siap dan tidak masalah," kata Presiden PKS Tifatul Sembiring. Menurut Tifatul, sebenarnya yang mengusulkan suara terbanyak itu PKS dan PAN, tetapi kemudian justru ditolak partai-partai besar. "Yang bos-bosnya sering ongkang-ongkang kaki yang masalah. Kalau kita siap turun ke bawah," ujarnya.

Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Suryadharma Ali menyatakan, pihaknya siap melaksanakan putusan MK yang mengabulkan permohonan uji materi UU Pemilu sehingga penetapan calon terpilih nantinya berdasarkan suara terbanyak. “Tentu kita akan taati dan laksanakan putusan MK itu, meskipun sebenarnya waktunya tidak tepat karena tahapan penyusunan calon anggota legislatif (caleg) sudah selesai,” ujar dia lagi.

Iklim Politik Nasional

Mantan Ketua MPR Amien Rais menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan caleg terpilih didasarkan pada perolehan suara terbanyak akan berdampak pada penyehatan iklim politik nasional karena telah mencerminkan azas keadilan dan demokrasi. Kepada pers disela-sela peluncuran Buku Putih Pilkada Malut di Jakarta, Rabu, Amien mengatakan bahwa putusan MK tersebut merupakan langkah yang sangat bagus bagi pembenahan sistem politik nasional saat ini.

“Putusan itu sudah benar karena dasar suara terbanyak itu sesuai dengan semangat berdemokrasi dan juga mencerminkan keadilan,” katanya. Dikemukakannya bahwa sejak awal dirinya menilai ketentuan penentuan caleg terpilih berdasarkan nomor urut, sebagaimana yang tercantum dalam UU No 10/2008 tentang Pemilu itu, pada dasarnya merupakan penipuan terhadap rakyat. “Bagaimana mungkin caleg yang seharusnya terpilih berdasarkan suara terbanyak bisa dikalahkan hanya karena tidak berada di nomor urut satu,” ujar tokoh reformasi itu.

Karenanya, menurut Amien Rais, Ketua MK Mahfud MD layak mendapat penghargaan khusus atas putusannya mengadopsi aspirasi masyarakat yang menghendaki iklim berdemokrasi yang sehat. Sebelumnya MK mengabulkan gugatan uji materiil atas Pasal 124 huruf a, b, c, d dan e UU No 10/2008 tentang Pemilu. Dengan demikian, penetapan caleg terpilih pada Pemilu 2009 tidak lagi memakai sistem nomor urut dan digantikan dengan sistem perolehan suara terbanyak.

Amien mengatakan bahwa putusan MK itu sekaligus pula menjadi pelajaran berharga bagi DPR agar tidak terus menerus membuat peraturan perundang-undangan yang konyol dan menafikkan kehendak demokrasi dan masyarakat. Mengenai teknis pengaturan caleg terpilih selanjutnya yang didasarkan pada putusan MK itu, Amien Rais berpendapat bahwa hal itu cukup diatur melalui keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) saja.

“Jadi ketentuan UU yang menetapkan caleg terpilih berdasarkan nomor urut bisa diabaikan tanpa harus membongkar UU tentang Pemilu itu. Cukup KPU saja mengeluarkan SK tentang hal ini dan selesai,” ujarnya.

Putusan MK Suara Terbanyak Amburadul

Sementara itu, mantan Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti punya pandangan lain. sebagaimana dikutip dari INILAH.COM, Keputusan MK yang menyatakan penetapan caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak dinilai sebagai keputusan yang amburadul. Sebab, merusak sistem atau tahapan pemilu yang sudah dibentuk sebelumnya.

“Keputusan MK tentang suara terbanyak mengacaukan sistem pemilu yang diterapkan. Sehingga sistem pemilunya menjadi aburadul,” kata mantan Wakil Ketua KPU Ramlan Surbakti saat dihubungi INILAH.COM, di Jakarta, Rabu (24/12).

Kekacauan itu, menurut dia, karena dalam sistem pemilu mengandung empat tahapan. Yakni, besaran daerah pemilihan, pola pencalonan tertutup atau terbuka, sistem zigzag caleg perempuan, model pemberian suara kepada parpol atau caleg dan berdasarkan suara terbanyak.

Empat tahapan itu, kata Ramlan, merupakan satu kesatuan dalam tahapan pemilu. “Putusan MK hanya mengambil ekornya saja. Sehingga membuat pemilu tidak lagi sistemik. Antara kepala dan kaki tidak cocok,” papar guru besar FISIP Universitas Airlangga itu.

Meski pasal 214 UU No 10/2008 tentang Pemilu itu multitafsir atau campur aduk, lanjut Ramlan, bukan berarti MK harus menganulir semua ayat dalam pasal tersebut. Sebab yang perlu diluruskan dalam pasal 214 adalah ayat b. Bukan semua ayat seperti dalam putusan MK yakni ayat a, c, d, dan e. “Jadi bukan berarti yang tertutup itu (berdasarkan nomor urut) tidak demokratis. Karena di negara-negara demokratis juga menerapkan nomor urut,” pungkasnya.

Peringatan bagi DPR

Keputusan MK tentang caleg berdasarkan suara terbanyak dinilai sebagai peringatan untuk DPR. "Ini semacam godam buat DPR yang bikin UU seperti ini. Ini peringatan kesekian kali dan ini yang terbesar. Kalau bikin UU jangan ada manipulasi," kata Direktur Eksekutif Center for Electoral Reform (Cetro) Hadar Gumay.

Kejanggalan memang sudah dilihat sejak awal. DPR mengaku memakai sistem proporsional terbuka, tetapi mereka justru membuat pasal 214 tentang caleg terpilih berdasarkan nomor urut bila tidak memenuhui quota suara, juga pasal 218 tentang pengunduran diri.

"Ini kan aturan UU yang manipulatif, sangat kental kepentingan jangka pendek. Dan putusan ini peringatan buat mereka bila MK bisa mengoreksi," ujarnya. Dia menengarai, keputusan sebelumnya yang berdasarkan nomor urut, sarat manipulasi permainan partai politik dan dengan nomor urut itu dikhawatirkan ada yang mengakali dengan permainan uang.

"Ini kesalahan partai, yang dari awal mau mengakali. Mereka akan menerima resiko, akan goyah. Dan kemungkinan ada caleg yang mundur dan akan ada tuntutan kepada partai tersebut bila uang yang menjadi patokan ketika menentukan nomor urut. Ini resiko partai yang mau bermain-main," kata Hadar.

Dan hal yang sangat positif bagi penyelenggara yakni potensi keributan yang dikhawatirkan terjadi, potensinya menjadi sangat kecil. "Dengan adanya pembatalan, jadi hanya ada satu jalur. Dan ini clear, buat penyelenggara bisa lebih sederhana. Kalau dengan nomor urut bisa terjadi keributan dalam penetapan calon terpilih," ujarnya.

sumber: beritasore.com, inilah.com, pikiran-rakyat.com

MK Putuskan Penetapan Caleg Berdasarkan Suara Terbanyak


Jakarta- Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan uji materi UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Dengan dikabulkannya uji materi terhadap pasal 214 huruf a,b,c,d, dan e pada UU tersebut, penetapan calon anggota legislatif pada Pemilu 2009 tidak lagi memakai sistem nomor urut, melainkan berdasarkan suara terbanyak.

"Menyatakan pasal 214 huruf a, b, c, d, dan e UU No. 10/2008 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD, bertentangan dengan UUD RI 1945. Selanjutnya, menyatakan pasal 214 huruf a, b,c,d, dan e UU No. 10/2008 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ujar Ketua MK Mahfud M.D. saat membacakan putusan di Gedung MK Jln. Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (23/12).

Sidang permohonan pengujian Undang-Undang Pemilu Legislatif yang diajukan oleh calon legislatif (caleg) dari Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) usai sudah. Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengambil keputusan terkait permohonan kedua partai itu. Keduanya mempersoalkan sistem penetapan anggota legislatif yang menggunakan nomor urut serta kuota perempuan dalam daftar urut caleg.

Permintaan pemohon yang dikabulkan adalah ketentuan Pasal 214 huruf a, b, c, d, e dalam UU Pemilu Legislatif. MK menyatakan, pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal yang 'dibatalkan' MK itu seputar penetapan calon legislatif yang menggunakan sistem nomor urut. Dengan dikabulkannya, permohonan pemohon ini, maka dalam Pemilu nanti, yang harus digunakan adalah sistem suara terbanyak.

Pertimbangan dari putusan ini di antaranya, ketentuan pasal 214 huruf a,b,c,d, dan e UU No 10/2008 yang menyatakan bahwa calon anggota legislatif terpilih adalah calon yang mendapat suara di atas 30 persen dari bilangan pembagian pemilu (BPP) atau menempati nomor urut lebih kecil, dinilai bertentangan dengan makna substantif dengan prinsip keadilan sebagaimana diatur dalam pasal 28 d ayat 1 UUD 1945.

MK menilai, sistem penetapan anggota legislatif berdasarkan nomor urut bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dijamin konstitusi. “Hal tersebut merupakan pelanggaran atas kedaulatan rakyat, jika kehendak rakyat yang tergambar dari pilihan mereka tidak diindahkan dalam penetapan anggota legislatif,” ujar Hakim Konstitusi, Arsyad Sanusi, saat membacakan pertimbangan majelis.

Arsyad mengatakan, dasar filosofi dari setiap pemilihan atas orang untuk menentukan pemenang adalah berdasarkan suara terbanyak. Menurutnya, memberlakukan sistem nomor urut berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai pilihannya. Selain itu, sistem ini telah mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih.

Sekedar mengingatkan, permohonan pengujian UU Pemilu Legislatif ini diajukan oleh politisi asal PDIP Muhammad Sholeh dan caleg Partai Demokrat Sutjipto. Mereka mempersoalkan beberapa ketentuan. Diantaranya, Pasal 214, Pasal 55 ayat (2), serta Pasal 205 ayat (4), ayat (5) dan ayat (6). Dari sejumlah pasal tersebut, MK mengabulkan pengujian Pasal 214 soal nomor urut, sedangkan pengujian Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 205 ditolak.

Dalam pertimbangannya, MK menegaskan bahwa putusan ini bisa langsung dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Arsyad memastikan tidak akan ada kekosongan hukum akibat putusan MK ini. Selain itu, KPU juga tak perlu menunggu dikeluarkannya revisi undang-undang maupun peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). “Putusan ini bersifat self ezecuting,” ujarnya. Artinya, KPU bisa langsung menetapkan anggota legislatif berdasarkan suara terbanyak pada Pemilu 2009 nanti.

sumber: detiknews.com, hukumonline.com, pikiran-rakyat.com, okezone.com

15 Desember 2008

Pemilu 2009 : Jumlah Pemilih 171.068.667 Orang

JAKARTA, SENIN - Komisi Pemilihan Umum menetapkan jumlah pemilih untuk Pemilu 2009 sebesar 171.068.667 orang. Jumlah itu berasal dari pemilih dalam negeri dari 33 provinsi sebesar 169.558.775 orang dan pemilih luar negeri dari 117 perwakilan Indonesia di luar negeri sebanyak 1.509.892.

Jumlah pemilih pemilu tersebut di sampaikan oleh Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary di Kantor KPU, Senin (24/11), pukul 23.30 setelah menggelar rapat pleno penetapan Daftar Pemilih Tetap. Hadir dalam penyampaian DPT tersebut tiga Komisioner KPU yang lain yaitu Sri Nuryanti, Abdul Aziz, dan I Gusti Putu Artha serta Sekretaris Jenderal KPU Suripto Bambang Setyadi.

Dibandingkan jumlah DPT yang ditetapkan KPU pada 24 Oktober lalu, jumlah pemilih dalam negeri mengalami penurunan sebanyak 463.464 pemilih. Saat itu, jumlah pemilih dalam negeri ditetapkan sebanyak 170.022.239 pemilih. Sedangkan pemilih luar negeri baru ditetapkan malam ini.

Penurunan pemilih terbesar terjadi dalam penetapan DPT di Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara sebanyak 65,26 persen dan DPT di Kabupaten Karangasem, Bali sebanyak 51,61 persen. Semula, DPT awal di Konawe Selatan dan Karangasem masing-masing sebanyak 498.663 pemilih dan 649.688 pemilih. Setelah DPT awal ditetapkan , ternyata KPU kedua kabupaten mengajukan DPT baru masing-masing menjadi 173.239 pemilih dan 314.356 pemilih.

Ketua Kelompok Kerja Pemutakhiran Data Pemilih KPU Sri Nuryanti mengatakan khusus untuk Konawe Selatan yang merupakan daerah pemekaran, kesalahan awal terjadi karena data yang dimasukkan dalam DPT awal adalah beserta data pemiih daerah induk. Sedangkan penurunan pemilih daerah lainnya terjadi karena kesalahan petugas KPU kabupaten/kota dalam memasukkan data.

Setelah data ini ditetapkan, lanjut Hafiz, tidak akan ada lagi perubahan data pemilih. Jika ada warga yang memiliki hak pilih tapi belum terdaft ar, maka ia tidak dapat diakomodasi karena melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta akan membuat KPU kesulitan dalam menentukan logistik pemilu.

"Yang masih bisa diakomodasi adalah pemilih tambahan, yaitu pemilih yang mengajukan permohonan pindah tempat pemungutann suara akibat berpindahnya domisili. Untuk pemilih tambahan dalam negeri diberi kesempatan mendaftar hingga 3 hari menjelang hari pemungutan suara, dan pemilih tambahan luar negeri dapat mengajukan perpindahan TPS hingga hari H pemungutan suara," kata Hafiz.

sumber: www.kompas.com

Tahapan & Jadwal Pemilu 2009

01.

7 JULI 2008

PENGUMUMAN HASIL VERIFIKASI KPU

02.

9 JULI 2008

PENGUNDIAN NOMOR URUT PARTAI POLITIK PESERTA PEMILU 2009

03.

12 JULI 2008

PENDEKLARASIAN KAMPANYE DAMAI PEMILU 2009

04.

12 JULI 2008 – 5 APRIL 2009

PELAKSANAAN KAMPANYE PERTEMUAN TERBATAS (TATAP MUKA, PERS, PENYEBARAN BAHAN)

05.

15 JULI – 13 AGUSTUS 2008

PENGAMBILAN FORMULIR CALON

06.

1419 AGUSTUS 2008

PENGAJUAN BAKAL CALON

07.

15 AGUSTUS – 7 SEPTEMBER 2008

VERIFIKASI ADIMINISTRASI BAKAL CALON

08.

16 AGUSTUS – 9 SEPTEMBER 2008

PENYAMPAIAN HASIL VERIFIKASI

09.

10 – 16 SEPTEMBER 2008

PERBAIKAN SYARAT DAN PENGGANTIAN BAKAL CALON

10.

11 – 19 SEPTEMBER 2008

VERIFIKASI HASIL PERBAIKAN SYARAT CALON

11.

12 – 26 SEPTEMBER 2008

PENYUSUNAN DAN PENETAPAN DAFTAR CALON SEMENTARA (DCS)

12.

26 SEPTEMBER – 9 OKTOBER 2008

PENGUMUMAN DAN TANGGAPAN MASYARAKAT ATAS DCS

13.

10 – 14 OKTOBER 2008

PENYAMPAIAN KLARIFIKASI DCS

14.

11 – 21 OKTOBER 2008

PENGAJUAN PENGGANTI DCS

15.

12 – 24 OKTOBER 2008

VERIFIKASI PENGGANTI DCS

16.

13 – 30 OKTOBER 2008

PENYUSUNAN DAN PENETAPAN DAFTAR CALON TETAP (DCT)

17.

31 OKTOBER 2008

PENGUMUMAN DCT

18.

16 MARET 2009 – 5 APRIL 2009

PELAKSANAAN KAMPANYE RAPAT UMUM

19.

6 – 8 APRIL 2009

MASA TENANG

20.

9 APRIL 2009

PEMUNGUTAN DAN PENGHITUNGAN SUARA

21.

PENETAPAN HASIL PEMILU :

19 APRIL 2009

(KPU KAB/KOTA)

24 APRIL 2009

(KPU PROVINSI)

9 MEI 2009

(KPU PUSAT)

22.

10 – 12 MEI 2009

PENGAJUAN PERMOHONAN PEMBATALAN HASIL PEROLEHAN SUARA KE MAHKAMAH KONSTITUSI

23.

PENETAPAN PEROLEHAN KURSI :

15 – 17 MEI 2009

(DPRD KAB/KOTA)

17 – 18 MEI 2009

(DPRD PROVINSI)

19 – 20 MEI 2009

(DPR dan DPD)

24.

PENETAPAN DAN PENGUMUMAN CALON TERPILIH :

17 – 18 MEI 2009

(DPRD KAB/KOTA)

19 – 20 MEI 2009

(DPRD PROVINSI)

21 – 24 MEI 2009

(DPR dan DPD)

25.

PEMBERITAHUAN KEPADA CALON TERPILIH :

19 – 24 MEI 2009

(DPRD KAB/KOTA)

21 – 28 MEI 2009

(DPRD PROVINSI)

25 MEI – 4 JUNI 2009

(DPR dan DPD)

26.

PERESMIAN KEANGGOTAAN :

JUNI 2009

(DPRD KAB/KOTA)

JULI, AGUSTUS 2009

(DPRD PROVINSI)

SEPTEMBER 2009

(DPR dan DPD)

27.

PENGUCAPAN SUMPAH/JANJI :

JULI 2009

(DPRD KAB/KOTA)

AGUSTUS 2009

(DPRD PROVINSI)

1 OKTOBER 2009

(DPR dan DPD)

07 Desember 2008

Cara Pemberian Suara Pemilu 2009

JAKARTA-Undang Undang (UU) Pemilu yang sudah disahkan bakal banyak mengalami revisi. Rencana revisi baru menyangkut teknis pemberian suara. Aturan yang hanya dengan sistem mencontreng bakal dirombak. Pemilih boleh melakukan dengan tambahan alternatif yakni dengan menyilang, melingkari, atau memberikan garis lurus.

Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary mengatakan, beberapa opsi menandai itu diberikan karena masyarakat masih akan belajar terhadap sistem pemilihan yang baru tersebut. ’’Supaya hak suara pemilih tidak terabaikan,’’ katanya kepada wartawan di sela-sela rapat kerja dengan seluruh KPU Provinsi terkait pembahasan data pemilih dan surat suara di Hotel Sahid, Jakarta, Senin (8/9).

Menurut Hafiz, KPU menilai sistem menandai dalam Pemilu 2009 tidak seharusnya membatasi pemilih hanya terpaku pada opsi mencontreng atau memberikan tanda cek. Jika dihadapkan pada pemilih di wilayah perkotaan, memilih dengan mencontreng sangat mungkin bisa diaplikasikan. Namun, lanjutnya, lain halnya jika dihadapkan pada pemilih di pedesaan. ’’Kalau di kampung, orang tentu lebih akrab dengan menyilang atau melingkari,’’ jelasnya.

Hafiz menyatakan, KPU akan membebaskan pemilih untuk menandai surat suara sebagaimana pilihan-pilihan tersebut. Sepanjang penandaan itu tidak merusak surat suara yang disediakan, KPU akan menganggap surat suara yang ditandai sah. ’’Jadi, jangan dicoblos atau diberi tanda titik. Itu tidak sah,’’ tuturnya mengingatkan.

Terkait format surat suara, Hafiz menyatakan KPU hampir mendekati kesepakatan final. Tentang desain surat suara yang dipakai, tampaknya, KPU lebih menyepakati ditonjolkan nama dan nomor urut calon anggota legislatif (caleg). Secara teknis dia menggambarkan, logo dan nama parpol akan diperkecil namun tetap disertakan sebagai identitas asal caleg. ’’Nanti, pemilih sah untuk menandai salah satu dari nama caleg, nomor urut caleg, atau lambang parpol,’’ terangnya.

Sementara itu, sampai sekarang, aturan terkait tata cara pemilihan masih diproses. KPU terlebih dahulu akan melakukan konsultasi kepada DPR terkait keputusan akhir surat suara. ’’Kami akan lapor dulu kepada DPR,’’ pungkasnya.

Terpisah, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Kebangkitan Bangsa (FKB) Saifullah Maksum justru mewacanakan agar teknis pemberian suara dikembalikan kepada mencoblos. Menurut mantan ketua Pansus RUU Penyelenggara Pemilu itu, risiko politik yang harus ditanggung dengan cara memberi tanda, khususnya mencontreng, terlalu besar. ’’Rawan menimbulkan ketidakjelasan pilihan,’’ katanya di sela-sela rapat komisi II dengan Sekjen KPU di Gedung DPR. Dia menyebut, dengan cara mencontreng, bisa saja garis yang dibuat pemilih menyentuh dua kotak nama caleg. ’’Terus mana yang akan dianggap sah?’’ katanya.

Selain itu, pemberian tanda dengan mencontreng juga gampang dimanipulasi dan dialihkan ke caleg lain. ’’Tinggal contrengannya yang pertama disilang sebagai tanda batal, terus buat tanda contreng baru,’’ ujarnya.

Kalau mencoblos, menurut Saifullah, tidak bisa seperti itu. ’’Kalau sampai muncul dua lubang, otomatis surat suara dianggap tidak sah,’’ tandasnya. Tapi, mengapa keberatan ini kembali disuarakan sekarang? ’’Setelah kami simulasikan kembali berkali-kali, risikonya memang terlalu besar,’’ jawabnya. (jpnn)

sumber: jppn

Beberapa Pasal Bertentangan dengan UU 22/2007

Pembahasan UU Pemilu yang disahkan DPR pada awal Maret lalu ternyata meninggalkan masalah. KPU menyatakan, terdapat pertentangan bunyi dari pasal di UU Pemilu, dengan UU Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu.

Ketua KPU Abdul Hafiz Anshary menyebut ketidaksinkronan tersebut terutama terletak pada keputusan DPR dan pemerintah, terkait pembentukan PPK dan PPS dalam tugasnya melakukan pemutakhiran data pemilih. ”Ini nantinya juga berhubungan erat dengan anggaran yang nantinya harus diterima KPU,” kata Hafiz di Kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Selasa (11/3).

Menurut Hafiz, dalam UU Nomor 22 Tahun 2007, pembentukan PPK dan PPS dibentuk selambat-lambatnya enam bulan sebelum pemilu berjalan. Setelah terbentuk, PPS nantinya menunjuk seorang Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) yang bekerja selama satu bulan untuk melakukan survei data pemilih di tingkat lapangan.

Namun, ketentuan tersebut ternyata bertentangan dengan UU Pemilu yang baru saja disahkan saat ini. Di UU tersebut, disebutkan pemutakhiran data pemilih baru harus dilakukan KPU paling lambat 12 bulan sebelum proses pemilu. Dalam hal ini, jika Pemilu legislatif dijadwalkan pada 5 April 2009, KPU saat ini setidaknya sudah membentuk anggota PPK dan PPS di seluruh kecamatan dan desa. ”Pertentangan di sini, kami harus menyesuaikan di UU yang mana,” kata Hafiz.

Hafiz menjelaskan, semua tahapan proses pemilu 2009 yang telah dibentuk oleh KPU, semuanya telah berpedoman pada UU Nomor 22 Tahun 2007. Dalam hal perencanaan anggaran, KPU juga berpedoman kepada UU yang telah disahkan sejak pertengahan 2007 tersebut. ”Dalam hal anggaran, tentu Depkeu tetap berpedoman pada anggaran yang sudah kami ajukan,” katanya.

Hafiz menambahkan, pertentangan dua UU tersebut tengah dibahas dalam rapat pleno internal KPU. Dalam pleno tersebut, ada anggota KPU yang mengusulkan agar KPU membentuk PPS terlebih dulu, untuk kemudian menunjuk PPDP agar segera melakukan pemutakhiran data.

Penunjukan tersebut diajukan, agar KPU tidak dianggap melanggar ketentuan UU Pemilu. Atas usulan tersebut, Hafiz menyatakan agar DPR bersedia melakukan Rapat Dengar Pendapat dengan KPU terlebih dulu. (jpnn)

sumber: jppn